UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan meningkatkan peran-serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya;
- bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak;
- bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga dapat mewujudkan peran serta dan kegotongroyongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional;
- bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan pajak kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum;
- bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
Dengan
Persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Dengan mencabut :
- Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonantie 1908, Staatsblad tahun 1908 Nomor 13) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1868) yang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-undang;
- Ordonansi Verponding Indonesia 1923 (Inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923, Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Algemeene Verordeningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168);
- Ordonansi Verponding 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad Tahun 1928 Nomor 342) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1882);
- Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonantie op De Vermogens Belasting 1932, Staatsblad Tahun 1932 Nomor 405) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2827);
- Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941 Nomor 97) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Algemeene Verordening Oorlogsmisdrijven (Staatsblad Tahun 1946 Nomor 47);
- Pasal 14 huruf j, k, dan l Undang-undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1287) yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-undang.
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1806) yang dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-undang;
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN.
BAB
I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Yang dimaksud dalam Undang-undang
ini dengan :
- Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya;
- Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan;
- Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;
- Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
- Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak;
BAB
II
OBYEK PAJAK
OBYEK PAJAK
Pasal
2
(1)
|
Yang
menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
|
(2)
|
Klasifikasi
obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.
|
Pasal
3
(1)
|
Obyek
Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah obyek pajak yang :
|
|
|
(2)
|
Obyek
pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan,
penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
(3)
|
Batas
nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 2.000.000,- (dua
juta rupiah) untuk setiap satuan bangunan.
|
(4)
|
Batas
nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan
disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
|
BAB
III
SUBYEK PAJAK
SUBYEK PAJAK
Pasal
4
(1)
|
Yang
menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
|
(2)
|
Subyek
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar
pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang ini.
|
(3)
|
Dalam
hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sebagai wajib pajak.
|
(4)
|
Subyek
pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan
wajib pajak terhadap obyek pajak dimaksud.
|
(5)
|
Bila
keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak
diterimanya surat keterangan dimaksud.
|
(6)
|
Bila
keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak
mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
|
(7)
|
Apabila
setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan
keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.
|
BAB
IV
TARIF PAJAK
TARIF PAJAK
Pasal
5
Tarif pajak yang dikenakan atas
obyek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).
BAB
V
DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG PAJAK
DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal
6
(1)
|
Dasar
pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak.
|
(2)
|
Besarnya
Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap
tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan
setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
|
(3)
|
Dasar
penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan
serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100%
(seratus persen) dari nilai jual obyek pajak.
|
(4)
|
Besarnya
persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi
nasional.
|
Pasal
7
Besarnya pajak yang terhutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak.
BAB
VI
TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERHUTANG
TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERHUTANG
Pasal
8
(1)
|
Tahun
pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim.
|
(2)
|
Saat
yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan obyek pajak pada
tanggal 1 Januari.
|
(3)
|
Tempat
pajak yang terhutang :
|
|
BAB
VII
PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBYEK PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG, DAN SURAT KETETAPAN PAJAK
PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBYEK PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG, DAN SURAT KETETAPAN PAJAK
Pasal
9
(1)
|
Dalam
rangka pendataan, subyek pajak wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan
mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak.
|
(2)
|
Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diisi
dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak,
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak oleh subyek pajak.
|
(3)
|
Pelaksanaan
dan tata cara pendaftaran obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
Pasal
10
(1)
|
Berdasarkan
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.
|
(2)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai
berikut :
|
|
|
(3)
|
Jumlah
pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
|
(4)
|
Jumlah
pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung
berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda administrasi
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.
|
BAB
VIII
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
Pasal
11
(1)
|
Pajak
yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya enam bulan
sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib
pajak.
|
(2)
|
Pajak
yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak oleh wajib pajak.
|
(3)
|
Pajak
yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau
kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan,
yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
|
(4)
|
Denda
administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak
yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus
dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat
Tagihan Pajak oleh wajib pajak.
|
(5)
|
Pajak
yang terhutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
|
(6)
|
Tata
Cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.
|
Pasal
12
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang,
Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Tagihan Pajak merupakan dasar penagihan pajak.
Pasal
13
Jumlah pajak yang terhutang
berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih
dengan Surat Paksa.
Pasal
14
Menteri Keuangan dapat melimpahkan
kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
BAB
IX
KEBERATAN DAN BANDING
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal
15
(1)
|
Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas :
|
|
|
(2)
|
Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan
secara jelas.
|
(3)
|
Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya
surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh wajib pajak, kecuali apabila
wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan diluar kekuasaannya.
|
(4)
|
Tanda
penerimaan Surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal
Pajak yang ditunjuk untuk itu dan atau tanda pengiriman Surat Keberatan
melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut
bagi kepentingan wajib pajak.
|
(5)
|
Apabila
diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur
Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak.
|
(6)
|
Pengajuan
keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
|
Pasal
16
- Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
- Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
- Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
- Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
Pasal
17
- Wajib pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) dan Pasal 16 ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh wajib pajak dengan dilampiri salinan surat keputusan tersebut.
- Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
- Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak.
BAB
X
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Pasal
18
- Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan.
- Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagian besar diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II.
- Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal
19
- Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang :
- karena kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya;
- dalam hal obyek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang diluar biasa.
- Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal
20
Atas permintaan wajib pajak Direktur
Jenderal Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal tertentu.
Pasal
21
- Pajak yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek pajak, wajib :
- menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan obyek pajak secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak;
- memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.
- Kewajiban memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berlaku pula bagi pejabat lain yang ada hubungannya dengan obyek pajak.
- Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terikat oleh kewajiban untuk memegang rahasia jabatan, kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan sepanjang menyangkut pelaksanaan Undang-undang ini.
- Tata cara penyampaian laporan dan permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal
22
Pejabat yang tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dikenakan sanksi menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
23
Terhadap hal-hal yang tidak diatur
secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undang
lainnya.
BAB
XII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal
24
Barang siapa karena ke alpaannya :
- tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak;
- menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian
Negara, di pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau
denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terutang.
Pasal
25
(1)
|
Barang siapa dengan sengaja :
a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak Direktorat Jenderal Pajak; b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar; c. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu dipalsukan seolah-olah benar; d. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya; e. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
sehingga
menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara
selama- 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali
pajak yang terhutang.
|
(2)
|
Terhadap
bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan dimaksud dalam
ayat (1) huruf d dan huruf e, dipidana pidana kurungan selama 1 (satu) tahun
atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).
|
(3)
|
Ancaman
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila melakukan
lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, sejak
selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan
atau dibayarnya denda.
|
Pasal
26
Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 dan Pasal 25 tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10
(sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Pasal
27
- Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 ayat (2) adalah pelanggaran.
- Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) adalah kejahatan.
BAB
XIII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
28
Terhadap Iuran Pembangunan Daerah
(Ipeda), Pajak Kekayaan (PKk), Pajak Jalan dan Pajak Rumah Tangga (PRT) yang
terhutang untuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1990.
Pasal
29
Dengan berlakunya Undang-undang ini,
peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda)
berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi,
tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1990 sepanjang tidak
bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini.
Pasal
30
Terhadap obyek pajak dalam bidang
penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya,
sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada
saat ini berlakunya Undang-undang ini, tetap dikenakan Iuran Pembangunan Daerah
(Ipeda) berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Kontrak Karya dan
Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku.
BAB
XIV
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
31
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1986.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan Penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
pada tanggal 27 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
pada tanggal 27 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 68
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1985
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
I. UMUM
Dalam Negara Republik Indonesia yang
kehidupan rakyat dan perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi
termasuk perairan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai
fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu bagi mereka yang
memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian
dari kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak.
Sebelum berlakunya Undang-undang
ini, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak
berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 dan terhadap tanah yang
tunduk pada hukum barat dipungut pajak berdasarkan Ordonansi Verponding
Indonesia 1923, dan Ordonansi Verponding 1928. Disamping itu terdapat pula
pungutan pajak atas tanah dan bangunan yang didasarkan pada Ordonansi Pajak
Rumah Tangga 1908 serta lain-lain pungutan daerah atas tanah dan bangunan.
Sistem perpajakan yang berlaku
selama ini, khususnya pajak kebendaan dan kekayaan yang telah menimbulkan
tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya sehingga mengakibatkan
beban pajak berganda bagi masyarakat.
Sesuai dengan amanat yang terkandung
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara perlu diadakan pembaharuan sistem
perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib
pajak dalam melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan
sehingga dapat mewujudkan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta
meratakan pendapatan masyarakat.
Oleh karena itu Ordonansi Pajak
Rumah Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding
1928, Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942, Pasal 14 huruf
j, huruf k, dan huruf l Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang
Peraturan Umum Pajak Daerah, Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), dan lain-lain
peraturan perundang-undang tentang pungutan daerah sepanjang mengenai tanah dan
bangunan perlu dicabut.
Peraturan perundang-undang lainnya
terutama yang selama ini menjadi dasar bagi penyelenggaraan pungutan oleh
Daerah, khususnya seperti pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor masih berlaku.
Dengan mengadakan pembaharuan sistem
perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi macam-macam pungutan atas tanah
dan/atau bangunan, tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran
perpajakan dari masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan pajak akan
meningkat pula.
Obyek pajak dalam Undang-undang ini
adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah Republik Indonesia.
Dalam mencerminkan keikutsertaan dan
kegotongroyongan masyarakat di bidang pembiayaan pembangunan, maka semua obyek
pajak dikenakan pajak
Dalam Undang-undang ini, bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dikenakan Pajak. Penentuan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek pajak
yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintah, diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Hasil penerimaan pajak ini diarahkan
kepada tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan, maka
sebagian hasil penerimaan pajak ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Penggunaan pajak yang demikian oleh
daerah akan merangsang masyarakat untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak
mereka yang sekaligus mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam
pembiayaan pembangunan.
Karena Pajak Bumi dan Bangunan
sebagian besar akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah maka dirasa perlu untuk
menetapkan tempat-tempat pembayaran yang lebih mudah dan dekat sehingga
Pemerintah Daerah yang bersangkutan dapat segera memanfaatkan hasil penerimaan
pajak guna membiayai pembangunan di masing-masing wilayahnya.
Tempat yang lebih dekat tersebut
adalah seperti Bank, Kantor Pos dan Giro serta tempat-tempat lain yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.
Bagi wajib pajak dimungkinkan
memperoleh pengurangan atas pembayaran pajaknya, karena sebab-sebab lain yang
luar biasa, sehingga wajib pajak tidak mampu membayar pajaknya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Permukaan bumi meliputi tanah dan
perairan perdalaman serta laut wilayah Indonesia.
Angka 2
Termasuk dalam pengertian bangunan
adalah :
- jalan lingkungan yang
terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya
dan lain-lain yang satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
- jalan TOL;
- kolam renang;
- pagar mewah
- tempat olah raga;
- galangan kapal, dermaga;
- taman mewah;
- tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
- fasilitas lain yang memberikan manfaat;
- jalan TOL;
- kolam renang;
- pagar mewah
- tempat olah raga;
- galangan kapal, dermaga;
- taman mewah;
- tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
- fasilitas lain yang memberikan manfaat;
Angka 3
Yang dimaksud dengan :
-
Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara
membandingkannya dengan obyek pajak lain yang sejenis yang
letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
- Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.
- Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut.
- Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.
- Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut.
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan
bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk
memudahkan penghitungan pajak yang terhutang.
Dalam menentukan klasifikasi
bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
- letak;
- peruntukan;
- pemanfaatan
- kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi
bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
- bahan yang digunakan;
- rekayasa;
- letak;
- kondisi lingkungan dan lain-lain.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa obyek pajak itu diusahakan
untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan.
Hal ini dapat diketahui antara lain
dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak
dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional
tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai Pasal
2 Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan Negara sesuai
Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan.
Contoh :
- pesantren atau sejenis dengan itu;
- madrasah;
- tanah wakaf;
- rumah sakit umum.
- madrasah;
- tanah wakaf;
- rumah sakit umum.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan obyek pajak dalam ayat ini adalah obyek pajak yang
dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak
Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya
merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan
fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Oleh
sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas
tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
Mengenai
bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh
negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
Ayat (3)
Obyek pajak berupa bangunan diberi
batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
untuk tiap satuan bangunan.
Contoh :
1.
|
Nilai jual bangunan ......
|
Rp.
1.800.000,-
|
Batas nilai Bangunan Tidak Kena
Pajak ......
|
Rp.
2.000.000,-
|
|
Nilai jual bangunan kena pajak
......
|
Rp. N i h i l
|
|
2.
|
Nilai jual bangunan ......
|
Rp. 10.000.000,-
|
Batas nilai jual bangunan Tidak
Kena Pajak ......
|
Rp. 2.000
000,- -
|
|
Nilai jual bangunan kena pajak
......
|
Rp.
8.000.000,-
|
|
3.
|
Nilai jual bangunan ......
|
Rp. 500.000.000,-
|
Batas nilai jual bangunan Tidak
Kena Pajak ......
|
Rp.
2.000.000,- -
|
|
Nilai jual bangunan kena pajak
......
|
Rp. 498.000.000,-
|
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Tanda pembayaran/pelunasan pajak
bukan merupakan bukti pemilikan hak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan
ini memberikan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan subjek pajak
sebagai wajib pajak, apabila objek pajak belum jelas pajaknya.
Contoh :
- Subjek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang lain bernama B bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian maka dalam hal demikian A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak .
- Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
- Subjek pajak dalam waktu yang lama berada diluar wilayah letak objek pajak, sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak.
Penunjukan sebagai wajib pajak oleh Direktur
Jenderal Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Berdasarkan
ketentuan dalam ayat ini, apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan
keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari
wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan
berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada
dasarnya penetapan nilai jual obyek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun
demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan
mengakibatkan kenaikan nilai jual obyek pajak cukup besar, maka penetapan nilai
jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan
mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment.
Ayat (3)
Yang dimaksud Nilai Jual Kena Pajak
(assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar
penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
Contoh :
- Nilai Jual suatu obyek pajak sebesar Rp. 1.000.000,00 Persentase Nilai Jual Kena Pajak misalnya 20% maka besarnya nilai jual kena pajak 20% x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 200.000,00
- Nilai jual suatu obyek pajak sebesar Rp. 1.000.000,00 Persentase Nilai Jual Kena Pajak misalnya 50% maka besarnya nilai jual kena pajak 50% x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 500.000,00.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Nilai jual untuk bangunan sebelum
diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan batas nilai jual
bangunan tidak kena pajak sebesar Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Contoh :
Wajib pajak A mempunyai obyek pajak
berupa :
- Tanah seluas 800 m2 dengan harga
jual Rp. 300.000/m2;
- Bangunan seluas 400m2 dengan nilai jual Rp. 350.000/m2;
- Taman mewah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp. 50.000/m2;
- Pagar mewah sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp. 1.750.000/m2;
- Bangunan seluas 400m2 dengan nilai jual Rp. 350.000/m2;
- Taman mewah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp. 50.000/m2;
- Pagar mewah sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp. 1.750.000/m2;
Persentase nilai jual kena pajak
misalnya 20% Besarnya pajak yang terhutang adalah sebagai berikut :
1.
|
Nilai jual tanah : 800 x Rp.
300.000,00
|
= Rp.240.000.000,00
|
|
nilai jual bangunan
|
|||
a.
|
Rumah dan garasi
400 x Rp. 350.000,00 |
= Rp.140.000.000,00
|
|
b.
|
Taman Mewah
200 x Rp. 50.000,00 |
= Rp. 10.000.000,00
|
|
c.
|
Pagar mewah (120x1,5)xRp.
175.000,00
|
= Rp. 31.500.000,00
|
|
Nilai jual bangunan
|
= Rp.181.500.000,00
|
||
Batas nilai jual bangunan tidak
kena pajak
|
= Rp.
2.000.000,00
|
||
Nilai jual bangunan
|
= Rp.179.500.000,00
|
||
Nilai jual tanah dan bangunan
|
= Rp.419.500.000,00
|
||
2.
|
Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
yang terhutang :
|
||
a.
|
Atas tanah = 0,5% x 20% x Rp.
240.000.000,00
|
=
Rp. 240.000,00
|
|
b.
|
Atas bangunan = 0,5% x 20% x Rp.
179.500.000,00
|
=
Rp. 179.500,00
|
|
Jumlah pajak yang terhutang
|
=
Rp. 419.500,00
|
Pasal 8
Ayat (1)
Jangka waktu 1 (satu) tahun takwim
adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Ayat (2)
Karena tahun pajak dimulai pada
tanggal 1 Januari, maka keadaan obyek pajak pada tanggal tersebut merupakan
saat yang menentukan pajak yang terhutang.
Contoh :
- Obyek pajak pada tanggal 1
Januari 1986 berupa tanah dan bangunan.
Pada tanggal 10 Januari 1986 bangunannya terbakar, maka pajak yang terhutang tetap berdasarkan keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari 1986, yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar; - Obyek pajak pada tanggal 1
Januari 1986 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di atasnya.
Pada tanggal 10 Agustus 1986 dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terhutang untuk tahun 1986 tetap dikenakan pajak berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 1986.
Sedangkan bangunannya baru akan
dikenakan pada tahun 1987.
Ayat (3)
Tempat pajak yang terhutang untuk
Kotamadya Batam, di wilayah propinsi daerah tingkat I yang bersangkutan.
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam
rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan surat Pemberitahuan Obyek Pajak
untuk diisi dan dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak, Wajib Pajak yang
pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan obyek pajaknya kecuali kalau ia
menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada Direktorat
Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jelas, benar
dan lengkap adalah :
Jelas dimaksudkan agar penulisan
data yang diminta dalam Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dibuat
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan
negara maupun wajib pajak sendiri.
Benar,
berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,
seperti luas tanah dan/atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya
sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat Pemberitahuan Obyek
Pajak (SPOP).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan
Obyek Pajak (SPOP), namun untuk membantu wajib pajak, Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang dapat diterbitkan berdasarkan data obyek pajak yang telah ada pada
Direktorat Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan
ayat ini memberi wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat
mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) terhadap wajib pajak yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.
Menurut
ketentuan ayat (2) huruf a, wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara tertulis
juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran
itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pajak secara jabatan.
Terhadap ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam
ayat (3).
Menurut
ketentuan ayat (2) huruf b, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak ternyata jumlah pajak
yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang yang dihitung atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang
disampaikan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi
sebagaimana diatur dalam ayat (3).
Ayat (3)
Ayat
ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a, sanksi tersebut dikenakan sebagai tambahan terhadap pokok pajak
yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak.
Surat
Ketetapan Pajak ini, berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak
memuat penetapan obyek pajak dan besarnya pajak yang terhutang beserta denda
administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak.
Contoh :
Wajib Pajak A tidak menyampaikan
SPOP.
Berdasarkan data yang ada, Direktur
Jenderal Pajak mengeluarkan SKP yang berisi :
- obyek pajak dengan luas dan nilai jual.
- luas obyek pajak menurut SPOP.
- pokok pajak = Rp. 1.000.000,00
- Sanksi administrasi 25% x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 250.000,00
- Jumlah pajak yang terhutang dalam SKP = Rp. 1.250.000,00
- obyek pajak dengan luas dan nilai jual.
- luas obyek pajak menurut SPOP.
- pokok pajak = Rp. 1.000.000,00
- Sanksi administrasi 25% x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 250.000,00
- Jumlah pajak yang terhutang dalam SKP = Rp. 1.250.000,00
Ayat (4)
Ayat
ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang
mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b yaitu sebesar 25% (dua
puluh lima persen) dari selisih pajak terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan
atau keterangan lain dengan pajak terhutang dalam Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang
disampaikan oleh wajib pajak.
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT
|
= Rp. 1.000.000,00
|
Berdasarkan pemeriksaan yang
seharusnya terhutang dalam SKP
|
= Rp. 1.500.000,00
|
Selisih
|
= Rp. 500.000,00
|
Denda administrasi 25% x Rp.
500.000,00
|
= Rp. 125.000,00
|
Jumlah pajak terhutang dalam SKP
|
= Rp. 625.000,00
|
Adapun jumlah pajak yang terhutang
sebesar
|
= Rp. 1.000.000,00
|
Jumlah tercantum dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang, apabila belum dilunasi wajib pajak, penagihannya
dilakukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang tersebut.
Pasal 11
Ayat (1)
Contoh :
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 1986.
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 1986.
Ayat (2)
Contoh :
Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 1986.
Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 1986.
Ayat (3)
Menurut ketentuan ini pajak yang
terhutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan
denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau
kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
SPPT tahun pajak 1986 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 1986 dengan pajak yang terhutang sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 1986. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) yakni : 2% x Rp. 100.000,00 = Rp. 2.000,00.
SPPT tahun pajak 1986 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 1986 dengan pajak yang terhutang sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 1986. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) yakni : 2% x Rp. 100.000,00 = Rp. 2.000,00.
Pajak yang terhutang yang harus
dibayar pada tanggal 1 September 1986 adalah :
Pokok pajak + denda administrasi = Rp. 100.000,00 + Rp. 2.000,00 = Rp. 102.000,00
Pokok pajak + denda administrasi = Rp. 100.000,00 + Rp. 2.000,00 = Rp. 102.000,00
Bila wajib pajak tersebut baru
membayar hutang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 1986, maka terhadap wajib
pajak tersebut dikenakan denda
2 x 2% dari pokok pajak, yakni : 4% x Rp. 100.000,00 = Rp. 4.000,00.
2 x 2% dari pokok pajak, yakni : 4% x Rp. 100.000,00 = Rp. 4.000,00.
Pajak yang terhutang yang harus
dibayar pada tanggal 10 Oktober 1986 adalah :
Pokok pajak + denda administrasi = Rp. 100.000,00 + Rp 4.000,00 = Rp. 104.000,00.
Pokok pajak + denda administrasi = Rp. 100.000,00 + Rp 4.000,00 = Rp. 104.000,00.
Ayat (4)
Menurut
ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti tersebut pada contoh
penjelasan ayat (3) ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang
harus dilunasi dalam satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Dalam hal tagihan pajak yang
terhutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya
dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor 19
Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.
Pasal 14
Pelimpahan wewenang penagihan kepada
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II, bukanlah pelimpahan urusan penagihan, tetapi hanya sebagai pemungut
pajak, sedangkan pendataan obyek pajak dan penempatan pajak yang terhutang
tetap menjadi wewenang Menteri Keuangan.
Dalam hal jumlah pajak yang
terhutang sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang tidak
sesuai dengan obyek pajak dilapangan, maka pemungut pajak tidak dibenarkan
mengubah jumlah pajak yang terhutang, tetapi harus melaporkan hal tersebut
kepada Menteri Keuangan dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 15
Ayat (1)
Keberatan terhadap Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang dan Surat Ketetapan Pajak harus diajukan
masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
memberi waktu yang cukup kepada wajib pajak untuk mempersiapkan surat keberatan
beserta alasan-alasannya.
Apabila ternyata batas waktu 3
(tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak karena keadaan di
luar kekuasaannya (force mayour) maka tenggang waktu tersebut masih dapat
dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak,
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ketentuan
ini mengharuskan wajib pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak, dalam
hal wajib pajak mengajukan keberatan terhadap ketetapan secara jabatan.
Apabila
wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara
jabatan itu, keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak, yaitu
apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya surat
keberatan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan atas keberatan
yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima.
Pasal 17
Ayat (1)
Ketentuan
ini memberikan kesempatan kepada wajib pajak yang kurang puas terhadap
keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan untuk mengajukan
banding ke badan peradilan pajak, dalam hal ini seperti yang ada sekarang yaitu
Majelis Pertimbangan Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Karena penerimaan pajak ini
diarahkan untuk kepentingan masyarakat di Daerah Tingkat II yang bersangkutan,
maka sebagian besar penerimaan pajak ini diberikan kepada Daerah Tingkat II.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Kondisi tertentu obyek pajak yang
ada hubungannya dengan subyek pajak dan sebab-sebab tertentu lainnya, berupa
lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan yang ditempati sendiri yang
dikuasai atau dimiliki oleh golongan wajib pajak tertentu, lahan yang nilai
jualnya meningkat sebagai akibat perubahan lingkungan dan dampak positif
pembangunan serta pemanfaatannya belum sesuai dengan peruntukan lingkungan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan bencana alam
adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor.
Yang dimaksud dengan sebab lain yang
luar biasa adalah seperti :
- kebakaran;
- kekeringan;
- wabah penyakit tanaman;
- hama tanaman.
- kebakaran;
- kekeringan;
- wabah penyakit tanaman;
- hama tanaman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ketentuan ini memberi kesempatan
kepada wajib pajak untuk meminta pengurangan denda administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), dan ayat (4), kepada
Direktur Jenderal Pajak.
Direktur Jenderal Pajak dapat
mengurangkan sebagian atau seluruh dana administrasi dimaksud.
Pasal 21
Ayat (1)
Pejabat
yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek pajak adalah : Camat
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Laporan tertulis tentang mutasi
obyek pajak misalnya antara lain jual beli, hibah, warisan, harus disampaikan
kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek
pajak.
Ayat (2)
Pejabat yang dimaksud dalam ayat (1)
misalnya antara lain :
Kepala Kelurahan atau Kepala Desa,
Pejabat Dinas Tata Kota, Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan, Pejabat Agraria,
Pejabat Balai Harta Peninggalan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Peraturan perundang-undangan yang berlaku
bagi pejabat dalam pasal ini ialah antara lain :
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Staatsblad 1860 Nomor 3
tentang Peraturan Jabatan Notaris.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan lainnya adalah antara lain Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959
tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.
Pasal 24
Kealpaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, dan kurang hati-hati sehingga perbuatan
tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara.
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak
harus dikembalikan/disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak
selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 25
Ayat (1)
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja
merupakan tindakan pidana kejahatan, karena itu diancam dengan pidana yang
lebih berat.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan bukan wajib pajak dalam ayat ini yaitu pejabat yang tugas
pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan obyek pajak ataupun
pihak lainnya.
Ayat (3)
Untuk
mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana perpajakan maka bagi mereka yang
melakukan lagi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum lewat
1 (satu) tahun sejak selesai menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara
yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda, dikenakan pidana lebih berat ialah
2 (dua) kali lipat dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 26
Penyimpangan terhadap ketentuan
Pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan
kewajiban menyimpan dokumen perpajakan yang lamanya 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ketentuan Undang-undang ini baru
berlaku terhadap obyek pajak yang digunakan dalam rangka Kontrak Karya dan
Kontrak Bagi Hasil dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam
bidang penambangan lainnya yang perjanjiannya ditandatangani sejak berlakunya
Undang-undang ini yaitu tanggal 1 Januari 1986, sedangkan untuk Kontrak Karya
dan Kontrak Bagi Hasil yang telah ada tetap berlaku ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut.
Pasal 31
Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3312
Tidak ada komentar:
Posting Komentar