UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 16 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam upaya untuk lebih
memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar
lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
- Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
Dengan
Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.
Pasal
I
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) diubah sebagai berikut :
- Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
1
Dalam
Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
- Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
- Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
- Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
- Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
- Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
- Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
- Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
- Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
- Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
- Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
- Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
- Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
- Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
- Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
- Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
- Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
- Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
- Kredit pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
- Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
- Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir.
- Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
- Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
- Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
- Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
- Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
- Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu."
- Judul BAB II diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
"BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA
PEMBAYARAN PAJAK"
- Ketentuan Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
2
(1)
|
Setiap
Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib
Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
(2)
|
Setiap
Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
|
(3)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan :
|
|
|
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena
Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
atau ayat (2).
|
(5)
|
Jangka
waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
|
- Ketentuan Pasal 3 diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta di antara ayat (5) dan ayat (6) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (5a), sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
3
(1)
|
Setiap
Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan.
|
(1a)
|
Bagi
Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain
Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
|
(2)
|
Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (1a) harus mengambil
sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
|
(3)
|
Batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
|
|
|
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf b untuk paling lama 6 (enam) bulan.
|
(5)
|
Permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan secara tertulis disertai Surat
Pernyataan mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu)
Tahun Pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.
|
(5a)
|
Apabila
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat Teguran.
|
(6)
|
Bentuk
dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus
dilampirkan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
(7)
|
Surat
Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau tidak sepenuhnya dilampiri
keterangan dan atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
|
(8)
|
Dikecualikan
dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Wajib Pajak
Penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
|
- Ketentuan Pasal 4 ayat (4) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (5), sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
4
(1)
|
Wajib
Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
|
(2)
|
Dalam
hal Wajib Pajak adalah badan, Surat Pemberitahuan harus ditandatangani oleh
pengurus atau direksi.
|
(3)
|
Dalam
hal Surat Pemberitahuan diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan Wajib
Pajak, harus dilampiri surat kuasa khusus.
|
(4)
|
Pengisian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang wajib
melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca
dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
|
(5)
|
Tata
cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan."
|
- Ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
6
(1)
|
Surat
Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk
untuk itu, sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga
bukti penerimaan.
|
(2)
|
Penyampaian
Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui Kantor Pos secara tercatat atau
dengan cara lain yang diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
(3)
|
Tanda
bukti dan tanggal pengiriman untuk penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut
telah lengkap dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan."
|
- Ketentuan Pasal 7 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (2), sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
7
(1)
|
Apabila
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk
Surat Pemberitahuan Masa dan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan.
|
(2)
|
Pengenaan
sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan."
|
- Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (6), sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
8
(1)
|
Wajib
Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
|
(2)
|
Dalam
hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang
dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai
dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.
|
(3)
|
Sekalipun
telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan
tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib
Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah
pajak yang kurang dibayar.
|
(4)
|
Sekalipun
jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan
surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat
mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang mengakibatkan :
|
|
|
(5)
|
Pajak
yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh Wajib
Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
|
(6)
|
Sekalipun
jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan, Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak
menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding mengenai surat ketetapan
pajak tahun pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari
ketetapan pajak yang diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan
banding, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding tersebut."
|
- Ketentuan Pasal 9 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
9
(1)
|
Menteri
Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak,
paling lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa
Pajak berakhir.
|
(2)
|
Kekurangan
pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan harus
dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu
disampaikan.
|
(2a)
|
Apabila
pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau
ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran
pajak, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(3)
|
Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterbitkan.
|
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang
pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
|
- Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
10
(1)
|
Wajib
Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui
Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik
Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Tata
cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara
mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan."
|
- Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
11
(1)
|
Atas
permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pasal 17B, atau Pasal 17C dikembalikan, namun apabila ternyata
Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang pajak tersebut.
|
(2)
|
Pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, atau sejak diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, atau
sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C.
|
(3)
|
Apabila
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1
(satu) bulan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat
berlakunya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat
dilakukan pembayaran kelebihan.
|
(4)
|
Tata
cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan."
|
- Ketentuan Pasal 12 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
12
(1)
|
Setiap
Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak
|
(2)
|
Jumlah
pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
(3)
|
Apabila
Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar,
maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang
semestinya."
|
- Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
14
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :
|
|
|
(2)
|
Surat
Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan surat ketetapan pajak.
|
(3)
|
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
|
(4)
|
Terhadap
Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
d, huruf e, dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak."
|
- Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
15
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang,
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila
ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
|
(2)
|
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
|
(3)
|
Kenaikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis
dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.
|
(4)
|
Apabila
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah
lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib
Pajak setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut di pidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
|
- Ketentuan Pasal 16 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3) sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
16
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi,
Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar,
atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan
penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
permohonan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang
diajukan.
|
(3)
|
Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah lewat, Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang
diajukan tersebut dianggap diterima."
|
- Ketentuan Pasal 17B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17B berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
17B
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak selain permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling
lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima, kecuali untuk
kegiatan tertentu ditetapkan lain dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Apabila
setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan
setelah jangka waktu tersebut berakhir.
|
(3)
|
Apabila
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kepada Wajib Pajak diberikan
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar."
|
- Di antara Pasal 17B dan Pasal 18 di sisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 17C, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
17C
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu,
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Penghasilan dan
paling lambat 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak
Pertambahan Nilai.
|
(2)
|
Kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
|
(3)
|
Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
(4)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
|
(5)
|
Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah
kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
|
- Ayat (2) Pasal 18 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
18
(1)
|
Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
|
(2)
|
dihapus."
|
- Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
19
(1)
|
Apabila
atas pajak yang terutang menurut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan tambahan jumlah pajak yang
harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, atau Putusan Banding, pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau
kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu,
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan
tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(2)
|
Dalam
hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga
dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
(3)
|
Dalam
hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan dan
ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang,
maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenakan bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf b sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan."
|
- Ketentuan Pasal 20 diubah dan dijadikan ayat (2), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (1) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
20
(1)
|
Jumlah
pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar
oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3), ditagih dengan Surat Paksa.
|
(2)
|
Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penagihan seketika dan
sekaligus dilakukan dalam hal :
|
|
|
(3)
|
Penagihan
pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku."
|
- Ketentuan Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
21
(1)
|
Negara
mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak.
|
(2)
|
Ketentuan
tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokok
pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan
pajak.
|
(3)
|
Hak
mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
terhadap :
|
|
|
(4)
|
Hak
mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
tersebut, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau
diberikan penundaan pembayaran.
|
(5)
|
Dalam
hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2
(dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal
pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran
jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran."
|
- Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
22
(1)
|
Hak
untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak yang bersangkutan.
|
(2)
|
Daluwarsa
penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tertangguh apabila :
|
|
- Ketentuan Pasal 23 ayat (2) diubah, dan ayat (1) dan ayat (3) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
23
(1)
|
dihapus.
|
(2)
|
Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap :
|
|
|
(3)
|
dihapus."
|
- Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
24
Tata
cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan."
- Ketentuan Pasal 25 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
25
(1)
|
Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu :
|
|
|
(2)
|
Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah
pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah
rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang
jelas.
|
(3)
|
Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
|
(4)
|
Keberatan
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak
dipertimbangkan.
|
(5)
|
Tanda
penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal
Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui
pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
|
(6)
|
Apabila
diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur
Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan
pajak.
|
(7)
|
Pengajuan
keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan
pajak."
|
- Ketentuan Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) diubah, dan ayat (4) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
27
(1)
|
Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Putusan
badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.
|
(3)
|
Permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
|
(4)
|
dihapus.
|
(5)
|
Pengajuan
permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
|
(6)
|
Badan
peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2)
diatur dengan undang-undang."
|
- Ketentuan Pasal 27A diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 27A berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
27A
(1)
|
Apabila
pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau
seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah
dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan
pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal
pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
|
(2)
|
Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga diberikan atas pembayaran
lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (4) dan atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
berdasarkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi,
sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang
menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
|
(3)
|
Tata
cara penghitungan pengembalian kelebihan bayar dan pemberian imbalan bunga
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
|
- Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 28 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
28
(1)
|
Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
|
(2)
|
Dikecualikan
dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak
orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
|
(3)
|
Pembukuan
atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad
baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
(4)
|
Pembukuan
atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa
Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
|
(5)
|
Pembukuan
diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas.
|
(6)
|
Perubahan
terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan
dari Direktur Jenderal Pajak
|
(7)
|
Pembukuan
sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
|
(8)
|
Pembukuan
dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
|
(9)
|
Pencatatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang
bersifat final.
|
(10)
|
Dikecualikan
dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan melakukan pencatatan adalah
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
|
(11)
|
Buku-buku,
catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu
di tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi,
atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak badan.
|
(12)
|
Bentuk
dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
|
- Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
29
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
(2)
|
Untuk
keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal
pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta
memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
|
(3)
|
Wajib
Pajak yang diperiksa wajib :
|
|
|
(4)
|
Apabila
dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang
diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka
kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)."
|
- Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
31
Tata
cara pemeriksaan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
- Ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (4) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
32
(1)
|
Dalam
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal :
|
|
|
(2)
|
Wakil
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan atau
secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat
membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam
kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk di bebani tanggung jawab atas
pajak yang terutang tersebut.
|
(3)
|
Orang
pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
|
(3a)
|
Kuasa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
(4)
|
Termasuk
dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah
orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan
atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan."
|
- Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
33
Pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab
secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti
bahwa pajak telah dibayar."
- Ketentuan Pasal 34 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 34 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
34
(1)
|
Setiap
pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan
atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
(2a)
|
Larangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah : |
|
|
(3)
|
Untuk
kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada
pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) supaya memberikan keterangan,
memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang
ditunjuknya.
|
(4)
|
Untuk
kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas
permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata,
Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
(5)
|
Permintaan
Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka
atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara
perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta
tersebut."
|
- Ketentuan Pasal 36 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 36 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
36
(1)
|
Direktur
Jenderal Pajak dapat :
|
|
|
(2)
|
Tata
cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan utang pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
|
- Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 di sisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 36A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
36A
Apabila
petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan
Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka petugas
pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku."
- Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
37
Perubahan
besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah."
- Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
38
Setiap
orang yang karena kealpaannya :
- tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
- menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar."
- Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 39 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
39
(1)
|
Setiap
orang yang dengan sengaja :
|
|
|
(2)
|
Pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lipatkan 2 (dua) apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
|
(3)
|
Setiap
orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau menyampaikan
Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, di pidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah restitusi yang di mohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib
Pajak."
|
- Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
41
(1)
|
Pejabat
yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
|
(2)
|
Pejabat
yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34, di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
|
(3)
|
Penuntutan
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar."
|
- Ketentuan Pasal 41A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41A berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
41A
Setiap
orang yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini wajib memberi keterangan atau
bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti,
atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, di pidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah)."
- Ketentuan Pasal 41B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41B berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
41B
Setiap
orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda , paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
- Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 44 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
44
(1)
|
Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.
|
(2)
|
Wewenang
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
|
|
|
(3)
|
Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku."
|
- Di antara Pasal 47 dan BAB XI di sisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 47A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal
47A
Terhadap
semua hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan, diberlakukan
ketentuan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994."
Pasal
II
Undang-undang ini dapat disebut
"Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan".
Pasal
III
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 126
PENJELASAN
ATAS
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2000
NOMOR 16 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN
KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
I. UMUM
- Peraturan perundang-undangan
perpajakan yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 ini dilandasi falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan
sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam
pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya berlaku bagi undang-undang pajak materiil, kecuali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya. - Dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994, disadari masih terdapat hal-hal yang belum tertampung sehingga menuntut perlunya penyempurnaan sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebijaksanaan Pemerintah. Selain itu harapan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih, tetap diperhatikan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam Undang-undang ini.
- Falsafah dan landasan yang
menjadi latar belakang dan dasar Undang-undang ini tercermin dalam
ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak.
Sistem dan mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri dalam
sistem perpajakan Indonesia karena kedudukan Undang-undang ini yang akan
menjadi ketentuan umum bagi perundang-undangan perpajakan yang lain.
Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah : - bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
- tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
- anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak
Sistem
pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya
pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkan
secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini
diharapkan pula pelaksanaan administrasi yang terlalu membebani Wajib Pajak dan
birokratis akan dapat dihindari. Sejalan dengan harapan dalam upaya peningkatan
pelayanan masyarakat tersebut wewenang Direktur Jenderal Pajak yang bersifat
teknis administratif dapat dilimpahkan kepada aparat bawahannya.
Dalam Undang-undang ini digariskan bahwa administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat.
Dalam Undang-undang ini digariskan bahwa administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat.
- Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan pokok sebagai berikut :
- menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
- menunjang usaha pembangunan secara merata, mendorong investasi secara merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, terutama untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil yang selama ini dirasakan terbelakang atau terlambat perkembangannya, baik dalam rangka pemerataan pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam maupun dalam rangka peningkatan penerimaan pajak dalam jangka panjang;
- menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil olahan, dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa;
- menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan dalam rangka pengentasan sebagian masyarakat dari kemiskinan;
- menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi;
- menunjang usaha pelestarian ekosistem, sumber daya alam, dan lingkungan hidup;
- menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya; dan
- menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, serta peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal
I
Angka
1
Pasal
1
Cukup
jelas
Angka
2
Cukup
jelas
Angka
3
Pasal
2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem "self
assessment" wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap
wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan
perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya
diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib
Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan
dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen
perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang
dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya
pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Sedangkan bagi Pengusaha
badan, kewajiban melaporkan usahanya tersebut adalah pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan
tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dengan demikian Pengusaha orang pribadi atau badan yang
mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal
Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas
Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk melaksanakan hak dan
kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap
Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat
(3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu,
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak
selain yang ditentukan dalam ayat (1) dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
Selain
itu bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang
pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya
pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di
samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat (4)
Terhadap
Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk
mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok
Wajib Pajak dan atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini
dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha
tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan
atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (5)
Kewajiban
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban
melaporkan usaha untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi
jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan
kewajiban mengenakan pajak terutang. Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak harus diselesaikan
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan
secara lengkap.
Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan
tersebut, tata cara pemberian dan pencabutan Nomor Pokok Wajib Pajak serta
pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Angka
4
Pasal
3
Ayat (1)
Fungsi
Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
(1)
|
Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.
|
(2)
|
Wewenang
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
|
|
|
(3)
|
Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku."
|
Bagi
Pengusaha Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :
-
|
pengkreditan
Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
|
-
|
pembayaran
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena
Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
|
-
|
bagi
pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkannya.
|
Yang
dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat
Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang
diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
Pengisian
Surat Pemberitahuan yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang
kurang dibayar, akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan
Perpajakan.
Ayat (1a)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Dalam
rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan
disediakan pada kantor-kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan
tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang
diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat
ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap
cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pembayaran pajak maupun penyelesaian pembukuannya.
Bagi Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, diperkenankan untuk melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa.
Bagi Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, diperkenankan untuk melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa.
Ayat (4)
Apabila
Wajib Pajak baik orang pribadi atau badan ternyata tidak dapat menyampaikan
atau menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca perusahaan beserta laporan
laba rugi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam ayat (3) huruf b
karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan
keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan
kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Perpanjangan jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan hanya dapat diberikan paling lama
6 (enam) bulan.
Ayat (5)
Untuk
mencegah usaha penghindaran diri dan atau perpanjangan waktu pembayaran pajak
yang terutang dalam satu Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu
pemasukan Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang
berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang
ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan memberikan pernyataan
tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan
sementara dalam satu Tahun Pajak, sebagai lampiran surat permohonan penundaan
kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam
rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah
ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, maka terhadap Wajib
Pajak yang bersangkutan diberikan Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib
Pajak antara lain untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan
jumlah pajak dan pembayarannya, maka dalam rangka keseragaman dan mempermudah
pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah
Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi.
Untuk Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus
dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta
keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran,
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau
kelebihan pajak.
Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan keterangan dan
dokumen yang dapat berupa antara lain surat kuasa, surat keterangan tentang
perkawinan dengan pisah harta dan penghasilan, dokumen yang berkenaan dengan
impor atau ekspor dan Surat Setoran Pajak.
Ayat (7)
Surat
Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang
merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Dengan demikian apabila Surat
Pemberitahuan disampaikan tetapi tidak atau tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan
yang diharuskan, maka Surat Pemberitahuan tersebut dianggap tidak disampaikan.
Ayat (8)
Pada
prinsipnya setiap Wajib Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri
Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi
yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
namun karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Angka
5
Pasal
4
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Tata
cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai
antara lain penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat
Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar dan Nihil, prosedur perekaman dan
tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Angka
6
Pasal
6
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Dalam
rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi, maka perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya selain melalui Kantor Pos secara
tercatat. Oleh karena itu, cara lain perlu diatur dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.
Ayat (3)
Tanda
bukti dan tanggal pengiriman penyampaian Surat Pemberitahuan melalui Kantor Pos
merupakan bukti penerimaan, sepanjang Surat Pemberitahuan dimaksud telah
lengkap yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),
ayat (1a), dan ayat (6).
Angka
7
Pasal
7
Ayat (1)
Untuk
kepentingan tertib administrasi perpajakan dan untuk menjaga disiplin Wajib
Pajak, bagi Wajib Pajak yang dalam batas waktu yang ditentukan tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan, maka dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa dan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan.
Ayat (2)
Menteri
Keuangan berwenang menetapkan Wajib Pajak tertentu untuk tidak dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), misalnya Wajib
Pajak Non Efektif dan Wajib Pajak orang pribadi yang penghasilan netonya di
bawah jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Angka
8
Pasal
8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang
dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan pembetulan
atas kemauan sendiri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan mulai
melakukan tindakan pemeriksaan adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, atau wakil, atau kuasa, atau pegawai,
atau diterima oleh anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Penetapan batas waktu pembetulan tersebut, di satu pihak dipandang
cukup waktu bagi Wajib Pajak untuk meneliti dan membetulkan Surat
Pemberitahuannya apabila terdapat kesalahan, di lain pihak masih tersedia cukup
waktu bagi Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan pelayanan dan melakukan
pengawasan terhadap pembetulan yang dilakukan Wajib Pajak sebelum batas waktu
daluwarsa terlampaui.
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan atas kemauan
sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah
penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak
tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan sampai dengan tanggal pembayaran karena adanya pembetulan Surat
Pemberitahuan tersebut.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan
pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus
melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi
berupa denda sebesar 2 (dua) kali dari jumlah pajak yang kurang dibayar, maka
terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.
Namun bilamana telah dilakukan tindakan penyidikan dan
mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, maka
kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun
jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir dan
Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib
Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih
diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan
Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun-tahun atau masa-masa
sebelumnya.
Pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut terbatas pada hal-hal
sebagai berikut :
- pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau
- rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau
- jumlah harta menjadi lebih besar; atau
- jumlah modal menjadi lebih besar.
Ayat (5)
Cukup
jelas
Ayat (6)
Terhadap
Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang mengakibatkan rugi fiskal berbeda
dengan ketetapan pajak yang diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang
diajukan banding, masih terbuka kesempatan bagi Wajib Pajak untuk melakukan
pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun berikutnya
walaupun telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan Surat
Pemberitahuan tersebut.
Untuk
jelasnya diberikan contoh sebagai berikut :
- PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar Rp100.000.000,00.Terhadap Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp50.000.000,00.
Atas surat ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak mengajukan
keberatan pada tanggal 16 Maret 2006. Pada tanggal 10 November 2006 diterbitkan
Keputusan Keberatan yang menetapkan rugi fiskal PT A tahun 2002 menjadi
Rp110.000.000,00.
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2003 pada tanggal 26 Maret 2004 yang menyatakan :
Penghasilan
Neto sebesar
|
Rp 200.000.000,00
|
Kompensasi kerugian
berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 |
Rp 100.000.000,00
------------------------ |
Penghasilan
Kena Pajak
|
Rp 100.000.000,00
============== |
Tanggal
21 November 2006 Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2003
tersebut dilakukan pembetulan menurut Pasal 8 ayat (6), sehingga menjadi
:
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp 200.000.000,00
|
Rugi menurut Keputusan Keberatan
|
Rp 110.000.000,00
------------------------ |
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp 90.000.000,00
============= |
- PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar Rp150.000.000,00.
Atas
Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 16 Januari
2006 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar
Rp100.000.000,00.
Atas
surat ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak mengajukan keberatan pada tanggal 16
Maret 2006.
Pada
tanggal 10 November 2006 diterbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menolak
keberatan Wajib Pajak.
Terhadap
Keputusan Keberatan tersebut Wajib Pajak mengajukan banding pada tanggal 22
Desember 2006. Pada tanggal 18 Mei 2007 diterbitkan Putusan Banding yang
menambah rugi Wajib Pajak menjadi Rp160.000.000,00.
PT
B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2003 pada
tanggal 26 Maret 2004 yang menyatakan :
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp250.000.000,00
|
Kompensasi kerugian menurut Surat
Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 |
Rp150.000.000,00 (-)
------------------------ |
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp100.000.000,00
============== |
Tanggal
21 Juli 2007 Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2003 tersebut
dilakukan pembetulan menurut Pasal 8 ayat (6), sehingga menjadi :
Penghasilan Neto sebesar
|
Rp250.000.000,00
|
Rugi menurut Putusan Banding
|
Rp160.000.000,00 (-)
----------------------- |
Penghasilan Kena Pajak
|
Rp 90.000.000,00
============= |
Angka
9
Pasal
9
Ayat (1)
Batas
waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa
Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melewati 15
(lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.
Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenakannya
sanksi administrasi sesuai ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Apabila
pada waktu pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan ternyata
masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang, maka kekurangan
pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh
lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan itu disampaikan.
Misalnya Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus
disampaikan pada tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terutang
atau setoran akhir harus sudah dilunasi paling lambat tanggal 25 Maret, sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
Ayat (2a)
Ayat
ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran
pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai
berikut :
-
Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun 2002 sejumlah Rp10.000.000,00
sebulan
- Angsuran Masa Pajak Mei Tahun 2002 dibayar tanggal 18 Juni 2002 dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2002
- Tanggal 15 Juli 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak
- Sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan = 1 x 2% x Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00
- Angsuran Masa Pajak Mei Tahun 2002 dibayar tanggal 18 Juni 2002 dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2002
- Tanggal 15 Juli 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak
- Sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan = 1 x 2% x Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Atas
permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk
kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, meskipun tanggal jatuh tempo
pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati
untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang
benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Angka
10
Pasal
10
Ayat (1)
Direktorat
Jenderal Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak.
Semua penyetoran pajak-pajak negara, harus disetorkan ke kas negara melalui
tempat-tempat pembayaran yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, seperti Kantor
Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah
atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dengan usaha
memperluas tempat pembayaran pajak yang mudah dijangkau oleh Wajib Pajak,
dimaksudkan untuk mempermudah Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya sekaligus
menghindarkan adanya rasa keengganan dalam melaksanakan pembayaran pajak.
Ayat (2)
Dengan
adanya penentuan tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya
yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan demikian juga mengenai tata cara
mengangsur dan menunda pembayaran pajak, diharapkan akan dapat mempermudah
pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.
Angka
11
Pasal
11
Ayat (1)
Jika
setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan
jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih
besar dari jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak
yang tidak seharusnya terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali
kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai
utang pajak. Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi
semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran
tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan
bilamana masih terdapat sisa lebih, baru dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (2)
Untuk
menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan menjamin ketertiban
administrasi, batas waktu pengembalian oleh Direktur Jenderal Pajak ditetapkan
paling lama 1 (satu) bulan :
- untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
- untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
- untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C, dihitung sejak tanggal penerbitan sampai dengan saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak diterbitkan.
Ayat (3)
Untuk
terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak dengan kecepatan
pelayanan oleh Direktorat Jenderal Pajak, ayat ini menentukan bahwa atas setiap
kelambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu
seperti tersebut dalam ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan
imbalan oleh Pemerintah berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung
sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan saat dilakukan
pembayaran, yaitu saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak diterbitkan.
Ayat (4)
Cukup
jelas
Angka
12
Pasal
12
Ayat (1)
Pada
prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenakan
pajak, namun untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak
tersebut adalah :
a. pada suatu saat, untuk Pajak
Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak
Penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh
pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak
Penghasilan.
Jumlah
pajak terutang yang telah dipotong, dipungut, ataupun yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak
harus disetorkan ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha
milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan Undang-undang ini Direktorat Jenderal Pajak
tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat
Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan
pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya
data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Dengan
ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar
besarnya pajak yang terutang secara benar berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan,
kepadanya tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak ataupun surat keputusan
dari administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Apabila
diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan
lain, bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang
bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang
terutang sebagaimana mestinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Angka
13
Pasal
14
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Surat
Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan hukumnya dengan surat
ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan
Surat Paksa.
Ayat (3)
Ayat
ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan
Pajak yang diterbitkan karena :
·
penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak
kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan atau salah hitung;
·
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar.
Untuk jelasnya cara penghitungannya diberikan contoh sebagai berikut :
- Hasil
penelitian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2003 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat
Tagihan Pajak pada tanggal 13 Juni 2003 dengan penghitungan sebagai berikut :
-
|
Kekurangan bayar Pajak Penghasilan
|
Rp 1.000.000,00
|
-
|
Bunga = 3 x 2% x Rp1.000.000,00 =
|
Rp 60.000,00
(+)
--------------------- |
-
|
Jumlah yang harus dibayar
|
Rp 1.060.000,00
============ |
- Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar : Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2002 setiap bulan sebesar Rp100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Bulan Juni 2002, dibayar tepat waktu sebesar Rp 40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut
diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2002 dengan
penghitungan sebagai berikut :
-
|
Kekurangan bayar Pajak Penghasilan
Pasal 25
bulan Juni 2002 = |
Rp 60.000.000,00
|
-
|
Bunga = 3 x 2% x Rp60.000.000,00 =
|
Rp 3.600.000,00 (+)
------------------------ |
-
|
Jumlah yang harus dibayar =
|
Rp 63.600.000,00
============= |
Ayat (4)
Apabila
Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka ia telah melanggar kewajibannya dengan
itikad tidak baik dan melalaikan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.
Oleh karena itu selain harus menyetor pajak terutang dengan tidak diperkenankan
memperhitungkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak juga dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak
yang timbul sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Di
samping itu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak.
Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk
melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya, dan oleh karena
itu terhadapnya dikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian pula
terhadap Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tetapi tidak
melaksanakan, tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, atau membuat Faktur
Pajak tetapi tidak tepat waktu, dikenakan sanksi yang sama.
Angka
14
Pasal
15
Ayat (1)
Untuk
menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang
ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak
yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar, atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil
ditetapkan lebih rendah, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan
koreksi atas ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan baru diterbitkan apabila telah pernah diterbitkan ketetapan pajak.
Dengan perkataan lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan
mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan ketetapan pajak.
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat
adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
Sejalan dengan itu maka setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan
sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya
dalam hal ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap. Dalam
hal masih ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan atau data baru
yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang
dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu
yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang
diserahkan pada waktu pemeriksaan. Sedangkan yang dimaksud dengan data yang
semula belum terungkap adalah data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu
yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang, yang :
- tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan atau
- pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan dalam Surat
Pemberitahuan atau mengungkapkan pada waktu pemeriksaan, akan tetapi apabila
memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga
membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang
secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang
seharusnya, maka hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum
terungkap, misalnya :
- Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp 10.000.000,00 sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri dari Rp 5.000.000,00 biaya iklan di media masa dan Rp 5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas
pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah, sehingga pajak yang terutang tidak
dapat dihitung secara benar, maka data mengenai pengeluaran berupa sumbangan
atau hadiah tersebut adalah tergolong data yang semula belum terungkap.
- Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut, sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud.
Dalam pengelompokan tersebut sesungguhnya terdapat
kesalahan, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta
berwujud bukan bangunan kelompok 3 namun dikelompokkan ke dalam kelompok 2.
Oleh karena pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian yang dimaksud maka tidak dilakukan koreksi atas kesalahan
pengelompokan harta tersebut, dan sebagai akibatnya pajak yang terutang tidak
dapat dihitung secara benar. Apabila kemudian diketahui adanya kesalahan, maka
data pengelompokan harta tersebut adalah data yang semula belum terungkap.
- Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan Faktur Pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya dan sebagian yang lain tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh Faktur Pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak
tidak mengungkapkan perincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga
tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut, dan sebagai
akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar, maka apabila kemudian diketahui adanya data atau keterangan tentang
kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data
yang semula belum terungkap.
Ayat (2)
Dalam
hal setelah diterbitkan ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru dan
atau data yang belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar
penetapan tersebut, maka atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Dalam
hal Wajib Pajak di pidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, meskipun jangka waktu sepuluh tahun
sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dilampaui.
Angka
15
Pasal
16
Ayat (1)
Pembetulan
ketetapan pajak menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas
pemerintahan yang baik, sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan
yang bersifat manusiawi dalam suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan
sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung
persengketaan antara fiskus dengan Wajib Pajak.
Apabila kesalahan atau kekeliruan ditemukan baik oleh fiskus
atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak maka kesalahan atau kekeliruan tersebut
harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah
:
-
|
Surat
ketetapan pajak, antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan
Surat Ketetapan Pajak Nihil;
|
-
|
Surat
Tagihan Pajak;
|
-
|
Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
|
-
|
Surat
Keputusan Keberatan;
|
-
|
Surat
Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi;
|
-
|
Surat
Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar.
|
Ruang
lingkup pembetulan yang diatur dalam ayat ini terbatas pada kesalahan atau
kekeliruan sebagai akibat dari :
- Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo.
- Kesalahan hitung yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan;
- Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase.
Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi,
kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan.
Pengertian membetulkan dalam ayat ini dapat berarti menambah
atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan
kekeliruannya.
Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung,
dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam Surat Keputusan Pembetulan tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan
lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Guna
memberikan kepastian hukum, terhadap permohonan pembetulan yang diajukan oleh
Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak
permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam
hal batas waktu 12 (dua belas) bulan terlewati dan Direktur Jenderal Pajak
belum memberikan keputusannya, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan untuk
hal-hal yang dimohonkannya.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan
permohonan Wajib Pajak. Atas hal-hal yang dianggap dikabulkan tidak dapat lagi
dimohonkan pembetulan.
Angka
16
Pasal
17B
Ayat (1)
Terhadap
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C harus diterbitkan surat ketetapan
pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara
lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
Untuk kegiatan tertentu yaitu ekspor dan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai,
jangka waktu tersebut dapat dipersingkat dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak. Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat
Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri.
Surat
ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
Ayat (2)
Dengan
batas waktu tersebut dalam ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak, sehingga bila
batas waktu tersebut dilewati dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan
suatu keputusan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu,
batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi
perpajakan.
Ayat (3)
Dalam
hal Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar, maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan,
bagian dari bulan dihitung satu bulan.
Angka
17
Pasal
17C
Ayat (1)
Terhadap
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat :
- 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan;
- 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai;
sejak
permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah
diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat
(6). Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat
Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan kriteria tertentu antara lain :
- Kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi penyampaian Surat Pemberitahuan, tidak mempunyai tunggakan pajak;
- Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian;
- Penghitungan jumlah peredaran usaha dan pajaknya mudah diketahui karena berkaitan dengan aturan Pemerintah lainnya, seperti peredaran usaha dan Pajak Pertambahan Nilai atas produsen rokok diketahui dari pelaksanaan cukai.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 10
(sepuluh) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah
memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Surat
ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
Ayat (5)
Untuk
mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila
dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran
pajak.
Untuk
jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan
sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai berikut :
1)
|
Pajak
Penghasilan
- Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp
20.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000,00 - Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000,00 |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan
sebagai berikut :
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2)
|
Pajak Pertambahan Nilai
- Pajak Masukan Rp 150.000.000,00
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
-
|
Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan
sebagai berikut :
|
Angka
18
Pasal
18
Ayat (1)
Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan
penagihan pajak.
Ayat (2)
dihapus.
Angka
19
Pasal
19
Ayat (1)
Ayat
ini mengatur pengenaan bunga penagihan atas jumlah yang masih harus dibayar
menurut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang
tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat
dibayar. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh
sebagai berikut :
- Atas jumlah pajak yang
kurang dibayar.
Surat Ketetapan Pajak Penghasilan.
Pajak terutang atau ditagih (dianggap tidak ada jumlah pajak yang dikreditkan) Rp100.000,00. Surat ketetapan pajak diterbitkan tanggal 10 Oktober 2002. Harus dilunasi paling lambat tanggal 9 November 2002, tetapi baru dibayar sejumlah Rp60.000,00 pada tanggal 1 November 2002. Sampai pada tanggal batas waktu pembayaran terakhir (9 November 2002) sisa tagihan tidak dibayar lagi oleh Wajib Pajak.
Pada tanggal 18 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dengan penghitungan sebagai berikut :
Pajak terutang
|
Rp 100.000,00
|
Dibayar pada waktunya
|
Rp 60.000,00
------------------- |
Kurang dibayar
|
Rp 40.000,00
|
Bunga dihitung satu bulan = 1 x 2%
x Rp40.000,00 = Rp 800,00
|
|
Bunga tersebut ditagih dengan
Surat Tagihan Pajak.
|
- Atas jumlah pajak yang
terlambat dibayar.
Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar penuh tetapi terlambat, misalnya dibayar tanggal 20 November 2002. Tanggal 25 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak.
Bunga
terutang dalam Surat Tagihan Pajak dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp100.000,00
= Rp2.000,00.
- Atas jumlah pajak yang kurang
dan terlambat dibayar.
Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar sejumlah Rp60.000,00 pada tanggal 20 November 2002.
Tanggal
25 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak.
Bunga
terutang dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp100.000,00 = Rp2.000,00.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Angka
20
Pasal
20
Ayat (1)
Dalam
hal jumlah tagihan pajak tersebut tidak atau kurang dibayar sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai dengan tanggal jatuh tempo
penundaan pembayaran atau tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak,
penagihannya dilakukan dengan Surat Paksa. Penagihan pajak dengan Surat Paksa
tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan
pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa
menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari
semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Angka
21
Pasal
21
Ayat (1)
Ayat
ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan
mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan
dilelang di muka umum.Setelah utang pajak dilunasi baru diselesaikan pembayaran
kepada kreditur lain. Maksud dari ayat ini adalah untuk memberi kesempatan
kepada Pemerintah untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari kreditur lain atas
hasil pelelangan barang-barang milik Penanggung Pajak di muka umum guna
menutupi atau melunasi utang pajaknya.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Cukup
jelas
Angka
22
Pasal
22
Ayat (1)
Saat
daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum
kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Ayat (2)
Daluwarsa
penagihan pajak dapat melampaui 10 (sepuluh) tahun apabila :
- Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Teguran dan menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
- Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara :
-
|
Wajib
Pajak mengajukan permohonan angsuran dan penundaan pembayaran utang pajak
sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran.
Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
-
|
Wajib
Pajak mengajukan permohonan pengajuan keberatan.
Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak. |
-
|
Wajib
Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya.
Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut. |
- Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan pajak tersebut.
Angka
23
Pasal
23
Ayat (1)
dihapus
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
dihapus
Angka
24
Pasal
24
Menteri
Keuangan akan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah
piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi antara lain karena Wajib Pajak
telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib
Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, Wajib Pajak yang tidak
memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan
telah daluwarsa. Melalui cara ini akan dapat diperkirakan secara efektif
besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.
Angka
25
Pasal
25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah
pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, maka
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari
ketetapan pajak yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan undang-undang
perpajakan, jumlah besarnya pajak, pemotongan atau pemungutan pajak.
Perkataan "suatu" pada ayat ini dimaksudkan bahwa
satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak,
misalnya :
Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1995 dan Tahun Pajak 1996 keberatannya harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.
Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1995 dan Tahun Pajak 1996 keberatannya harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Batas
waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
diterbitkan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan
maksud agar supaya Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan
surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga)
bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar
kekuasaan Wajib Pajak (force mayeur), maka tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan
tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Ayat (4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Tanda
penerimaan surat yang telah diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak
atau oleh Kantor Pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila
surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian batas
waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud.
Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan
Wajib Pajak memperbaikinya, maka batas waktu penyelesaian keberatan dihitung
sejak diterimanya surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat
keberatan.
Ayat (6)
Agar
Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan yang kuat, Wajib
Pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau
pemungutan pajak yang telah ditetapkan, sebaliknya Direktur Jenderal Pajak
berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut di atas.
Ayat (7)
Untuk
mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran pajak melalui pengajuan
surat keberatan, maka pengajuan keberatan tidak menghalangi tindakan penagihan
sampai dengan pelaksanaan lelang.
Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak dengan dalih mengajukan keberatan, untuk tidak melakukan kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara.
Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak dengan dalih mengajukan keberatan, untuk tidak melakukan kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara.
Angka
26
Pasal
27
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
dihapus
Ayat (5)
Cukup
jelas
Ayat (6)
Cukup
jelas
Angka
27
Pasal
27A
Ayat (1)
Imbalan
bunga hanya diberikan berkenaan dengan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding
yang menyangkut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
Ayat (2)
Imbalan
bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak yang telah
diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
Pengurangan
atau penghapusan dimaksud merupakan akibat dari adanya Keputusan Keberatan atau
Putusan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang menerima sebagian atau seluruh
permohonan Wajib Pajak.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Angka
28
Pasal
28
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Prinsip
taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan
tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat
asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan :
- Stelsel pengakuan penghasilan;
- Tahun buku;
- Metode penilaian persediaan;
- Metode penyusutan dan amortisasi
Stelsel
akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang.
Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu
dibayar tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan
penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang
umumnya dipakai di bidang konstruksi dan metode lainnya yang dipakai di bidang
usaha tertentu seperti Build Operate and Transfer (BOT), Real Estate, dan
lain-lain.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya
didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel ini, penghasilan baru dianggap sebagai
penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode
tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah
dibayar tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang
pribadi atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang
tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak
berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang
atau jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan
biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, jasa, dan biaya operasi
lainnya.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel
kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan,
yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan
mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu untuk penghitungan
Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara
lain sebagai berikut :
1)
|
Penghitungan
jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik
yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
|
2)
|
Dalam
memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi,
biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi.
|
3)
|
Pemakaian
stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
|
Dengan
demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan
stelsel campuran.
Ayat (6)
Pada
dasarnya metode-metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama
dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan
penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap,
metode penilaian persediaan dan sebagainya. Namun demikian, perubahan metode
pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada
Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan
menyampaikan alasan-alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat-akibat
yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan
dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual
atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau
pengakuan biaya itu sendiri. Misalnya dalam metode pengakuan biaya yang
berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan
tertentu.
Contoh
:
Wajib Pajak dalam tahun 2002 menggunakan metode penyusutan
garis lurus atau straight line method. Dalam tahun 2003 Wajib Pajak bermaksud
mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo
menurun atau declining balance method.
Untuk keperluan tersebut, Wajib Pajak harus minta
persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan
sebelum dimulainya tahun buku 2003 dengan menyebutkan alasan-alasan
dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat
berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak, oleh karena itu
perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun takwim (tahun kalender)
kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun takwim, maka penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan
tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) enam bulan pertama atau lebih.
Contoh
:
- Pembukuan 1 Juli 2002 sampai dengan 30 Juni 2003, tahun pajaknya adalah tahun 2002.
- Pembukuan 1 Oktober 2002 sampai dengan 30 September 2003, tahun pajaknya adalah tahun 2003.
Ayat (7)
Pengertian
pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 26. Pengaturan dalam ayat ini
dimaksudkan agar dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang
terutang.
Selain
dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak-pajak lainnya juga harus dapat
dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus
mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau
nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan
demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim
dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali
peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
Ayat (8)
Cukup
jelas
Ayat (9)
Pencatatan
oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan
bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan
lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto,
pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan.Di
samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan
atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Ayat (10)
Cukup
jelas
Ayat (11)
Buku-buku,
catatan-catatan, dan dokumen-dokumen termasuk hasil pengolahan data elektronik
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia, dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan
mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang
diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10
(sepuluh) tahun penyimpanan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan
yang mengatur mengenai batas daluwarsa penetapan pajak.
Ayat (12)
Cukup
jelas
Angka
29
Pasal
29
Ayat (1)
Direktur
Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk :
- menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
- tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor)
atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup
pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk
terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau
pemotong pajak.
Pelaksanaan
pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan
dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan
pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan keadaan atau
kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang dilakukan dengan :
- menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan Pemeriksaan Lengkap;
- menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan, yang dinamakan Pemeriksaan Sederhana.
Selain
itu, Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan untuk tujuan lain diantaranya :
- menetapkan satu atau lebih tempat
terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penghasilan Pasal 21;
- mengukuhkan atau mencabut Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
- memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
- mengukuhkan atau mencabut Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
- memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
Ayat (2)
Pemeriksaan
dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya, oleh karena itu
harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah
Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas
pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas
pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki
keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya petugas
pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian,
sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat
dan kesimpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan
berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas
pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Wajib
Pajak yang diperiksa dalam rangka pengujian tingkat kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib memperlihatkan dan meminjamkan buku-buku, catatan-catatan,
dokumen-dokumen dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan yang berkaitan
dengan perolehan penghasilan atau kegiatan usaha.
Bilamana
buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan tidak dapat
diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih untuk menghindarkan diri, berdasarkan
ayat ini petugas pemeriksa diperbolehkan untuk memasuki tempat atau ruangan
yang menurut dugaan petugas digunakan sebagai tempat penyimpanan buku-buku,
catatan-catatan dan dokumen-dokumen tersebut.
Ayat (4)
Untuk
mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan,
dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat diberikan
oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu
ditiadakan.
Angka
30
Pasal
31
Cukup
jelas
Angka
31
Pasal
32
Ayat (1)
Dalam
Undang-undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan dalam pembubaran,
warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil
atau kuasanya, oleh karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan
sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat
ini menegaskan bahwa wakil dari Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-undang ini
bertanggungjawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang
terutang.
Pengecualian
dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak
dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran
dan kepatutan tidak mungkin dimintakan pertanggung jawaban secara pribadi atau
secara renteng.
Ayat (3)
Ayat
ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan
pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas
namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan
tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan materiil serta pemenuhan hak
Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Orang
yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan atau
mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya
berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan
sebagainya, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan
pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk
dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi Komisaris
dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.
Angka
32
Pasal
33
Sesuai
dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen
barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli
atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas
pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang
tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau
penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak
kepada penjual atau pemberi jasa.
Angka
33
Pasal
34
Ayat (1)
Setiap pejabat baik petugas pajak
maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain :
- Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
- data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
- dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
- dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
Ayat (2)
Para
ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang
perpajakan, adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk
mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (2a)
Yang
dimaksud dengan pihak lain antara lain lembaga negara atau instansi pemerintah
yang berwenang melakukan pemeriksaan di bidang keuangan negara. Dalam
pengertian keterangan yang dapat diberitahukan, antara lain identitas Wajib
Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.
Ayat (3)
Untuk
kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam
rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan
atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau
diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam
surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib
Pajak, nama pihak yang ditunjuk dan nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli
yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis
dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara
terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk
melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata
yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan Menteri
Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat
pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), atas
permintaan tertulis Hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Maksud
dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan penegasan, bahwa keterangan
perpajakan yang diminta tersebut adalah hanya mengenai perkara pidana atau
perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan
hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Angka
34
Pasal
36
Ayat (1)
Dapat
saja terjadi dalam praktek, bahwa sanksi administrasi yang dikenakan kepada
Wajib Pajak, karena ketidaktelitian petugas pajak dapat membebani Wajib Pajak
yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal yang
demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Demikian
juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, dan berlandaskan unsur keadilan
dapat mengurangkan atau membatalkan Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya
Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi
persyaratan formal (memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) meskipun
persyaratan material terpenuhi.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Angka
35
Pasal
36A
Dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan meningkatkan kemampuan
petugas pajak maka terhadap petugas pajak yang menghitung atau menetapkan pajak
yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga
menimbulkan kerugian negara, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Angka
36
Pasal
37
Sesuai
dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena itu
undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya
imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, sesuai
dengan keadaan ekonomi keuangan.
Angka
37
Pasal
38
Pelanggaran
terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang
menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi,
sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi
pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan
merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana.
Dengan
adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk
mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.Kealpaan yang dimaksud dalam Pasal ini berarti
tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya,
sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Angka
38
Pasal
39
Ayat (1)
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja
dikenakan sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam
penerimaan negara.
Ayat (2)
Untuk
mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, maka bagi
mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1
(satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara
yang dijatuhkan, dikenakan pidana lebih berat, ialah di lipatkan 2 (dua) dari
ancaman pidana yang diatur dalam ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan
atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan atau
kompensasi pajak yang tidak benar, sangat merugikan negara. Oleh karena itu
percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.
Angka
39
Pasal
41
Ayat (1)
Untuk
menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada
pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak
ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan undang-undang perpajakan, maka perlu adanya
sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya
pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan
kerahasiaan menurut ayat ini adalah dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai,
tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan, sehingga kewajiban untuk
merahasiakan, keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang
dilindungi oleh undang-undang perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut
dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Ayat (2)
Perbuatan
atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja
dikenakan sanksi yang lebih berat dibanding dengan perbuatan atau tindakan yang
dilakukan karena kealpaan, agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati
untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan
pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang
atau badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Angka
40
Pasal
41A
Agar
pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan
perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini.
Angka
41
Pasal
41B
Seseorang
yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan misalnya menghalangi Penyidik melakukan penggeledahan,
menyembunyikan bahan bukti dan sebagainya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini,
dikenakan sanksi pidana.
Angka
42
Pasal
44
Ayat (1)
Penyidik
di bidang perpajakan adalah pejabat pegawai negeri tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Angka
43
Pasal
47A
Dalam
rangka memberikan kepastian kepada Wajib Pajak maka mengenai hak dan kewajiban
perpajakan yang belum diselesaikan untuk tahun pajak 2000 dan sebelumnya tetap
diberlakukan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994.
Pasal II
Cukup
jelas
Pasal III
Cukup
jelas
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar